Jateng Normahukum.com: Kasus ambruknya bangunan Pondok Pesantren di salah satu negeri, yang merenggut 67 korban jiwa seharusnya tidak hanya disikapi dengan duka dan doa. Di balik reruntuhan bangunan, terkuak cermin buram praktik yang mengabaikan standar keselamatan universal, semua dibungkus rapi dalam kain ketaatan spiritual. Lebih dari sekedar bencana alam, tragedi ini adalah cermin kebobrokan, sebuah pengkhianatan terhadap kalimat mulia Amanah. Terkuak narasi mencengangkan: para santri, yang tugas utamanya adalah menuntut ilmu, dipekerjakan sebagai buruh konstruksi tanpa keahlian dan ironi penolakan santunan oleh keluarga korban dengan dalih mencari ”rida pemimpin pondok” adalah tamparan keras. Tragedi ini menegaskan satu hal: keimanan telah dijadikan tameng untuk mengabaikan akal sehat dan standar keselamatan yang wajib.
Ironisnya, tragedi ini mencapai titik terendah ketika publik dikejutkan dengan penemuan bangkai seunit mobil mercy mewah berharga miliaran rupiah yang ikut tertimpa reruntuhan, yang diduga milik pimpinan pondok. Disparitas ini sungguh menyakitkan: di satu sisi santri dipekerjakan sebagai kuli bangunan tanpa standar keselamatan, disisi lain, pemimpin spiritual mereka menikmati aset yang luar biasa mahal. Fakta ini adalah bukti nyata dari prioritas yang bengkok. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun gedung yang kokoh, membayar arsitek dan kontraktor yang profesional, serta memastikan fasilitas yang aman bagi para santri, justru seolah ’menguap’ menjadi kemewahan pribadi. Kesenjangan antara kemewahan pimpinan dan kelalaian terhadap keselamatan santri adalah kegagalan akut dalam pertanggungjawaban dana umat.
Kasus ini jelas menunjukan hilangnya logika dan etika yang seharusnya menjadi pilar utama lembaga pendidikan. Pondok pesantren, sebagai institusi yang dipercaya orang tua untuk mendidik anak, bertanggungjawab penuh atas keselamatan dan kesejahteraan santri. Bagaimana mungkin sebuah instansi pendidikan mempercayakan pembangunan gedung yang multi-lantai pada santri yang notabenenya adalah pelajar, yang seharusnya fokus pada kitab kuning atau pelajaran umum, bukan pada ilmu konstruksi berat ? Menggunakan dalih “berkah” atau “kemandirian” agar santri terlibat dalam pembangunan adalah bentuk eksploitasi halus. Sekalipun niatnya adalah berhemat atau mendapatkan ‘berkah’ dari bangunan yang didirikan secara swadaya, keselamatan jiwa tidak bisa dinegosiasikan. Bangunan yang merenggut nyawa adalah hasil dari abainya pertimbangan teknis. Pondok pesantren, sebagai lembaga resmi di bawah pengawasan Kementerian Agama, tunduk pada hukum negara, termasuk aturan keselamatan konstruksi. Santri adalah pelajar, bukan tenaga kerja murah atau kuli yang siap mempertaruhkan nyawa demi efisiensi biaya. Kelalaian ini harus disikapi sebagai tindakan pidana, bukan hanya sebagai ‘musibah’ yang harus diterima dengan ikhlas.
Agama, iman, atau rida tidak seharusnya menghapus hak-hak dasar manusia, seperti hak atas kompensasi, hak atas keadilan dan hak atas keselamatan. Pemimpin agama yang bijak akan memastikan tanggungjawab duniawi diselesaikan dengan tuntas, bukan malah menggantinya dengan dalih pahala akhirat, apalagi jika kelalaiannya merenggut puluhan nyawa.
Tragedi ini memaksa kita untuk kembali ke prinsip dasar beragama: iman harus berjalan beriringan dengan akal (logika) dan sains (realita). Agama seharusnya memuliakan manusia dan melindungi nyawanya, bukan sebaliknya, membiarkan eksploitasi dan bahaya terjadi atas nama ketaatan. Pemerintah, melalui Kementrian Agama dan dinas terkait, tidak boleh lagi berdiam diri. Harus ada audit keselamatan konstruksi yang ketat dan rutin di semua lembaga pendidikan, tanpa terkecuali. Citra spiritual pondok pesantren tidak boleh menjadi benteng yang menghalangi pengawasan standar minimum keselamatan dan pertanggungjawaban hukum. Masyarakat dan wali santri juga harus mendorong beragama dengan akal sehat. Jika praktik yang membahayakan nyawa anak, dalih spiritual apa pun harus dikesampingkan.
Tragedi robohnya bangunan pondok pesantren adalah lonceng peringatan yang memekakkan telinga. Kita harus berani memisahkan antara ajaran agama yang murni, yang penuh kasih dan logika-dengan manipulasi otoritas agama yang sarat kepentingan. Iman yang sejati tidak menuntut kita untuk mengabaikan logika demi ketaatan buta, apalagi jika ketaatan itu berujung pada hilangnya nyawa. Sudah saatnya kita hentikan praktik menjadikan agama sebagai ’alat jualan’ untuk menutupi kelalaian dan lepas dari tanggungjawab. Mari jadikan akal sehat sebagai filter utama, karena Tuhan pun memerintahkan kita untuk berpikir. Hanya dengan begitu kita dapat memastikan bahwa lembaga pendidikan agama benar-benar menjadi tempat yang aman untuk menimba ilmu dan bukan tempat untuk mempertaruhkan nyawa.
(Red*)
Comments